Oleh: Drs. Abdul Munir
Last update: 11 November 2013
Abstrak
Pembinaan karakter selama ini belum mendapat porsi yang memadahi serta kurang sesuai dengan kajian anatomis yang benar. Karakter bermuara pada kesadaran qalbiyah yang memerlukan alternatif dalam pembinaannya.
Tasawuf yang berbasis pada intuitif (qalbiyah) sarat dengan penyerapan nilai-nilai ilahiyah yang sangat menentukan terbentuknya karakter dasar manusia.
Tasawuf dalam Islam berpijak pada Iman Tauhid yang akan lebih menjamin lahirnya karakter yang kokoh yang menjadi magnit bagi lingkungannya tanpa dapat dipengaruhi oleh kepribadian lain yang kontra produktif terhadap karakter universal.
Kata kunci: tasawuf, karakter
A. Pendahuluan
Tasawuf sampai saat ini masih dicitrakan sebagai disiplin ilmu yang bersifat personal, karena dasar syar’inya dianggap kurang kuat baik dilihat dari kuantitas maupun kualitas dalil, karena dianggap penafsiran-penafsirannya terhadap Nash banyak bersifat isyari yang diakui oleh minoritas (bukan mayoritas) ulama, karena dianggap menyalahi dan berlawanan dengan prinsip-prinsip logika, karena capaian-capaian kebenaran yang disingkap bersifat subyektif, karena dianggap kontra produktif terhadap upaya memajukan peradaban manusia di tengah persaingan gelobal, karena manfaat langsungnya bagi upaya pembelaan terhadap kaum lemah dianggap tidak tampak, karena tasawuf dinilai tidak cukup peka terhadap persoalan sosial, ekonomi, politik apa lagi kebudayan, karena ahli tasawuf dianggap sebagai orang-orang egois yang hanya ber asyik-maksyuk bergumul dengan kenikmatan rohani bersama Tuhan, dan karena-karena yang lain.
Pencitraan seperti itu memang sangat mudah karena sudut pandangnya hanya melalui anatomi fisik dan rasio, paling banter sampai psikhis, sementara kelemahan menjangkau inti keberadaan manusia yang bernama hati (yang abstrak) itu tidak disadari. Lalu bagaimana kalau hasil anatomi terhadap manusia yang tidak lengkap, bahkan meninggalkan intinya, kemudian dijadikan dasar untuk menerapkan ayat-ayat yang justru berbasis pada kesadaran qalbiyyah itu ?
Dalam kontek kediklatan yang notabene berbasis pada pembentukan karakter pegawai, masih sulit dilihat signifikansinya pada perubahan attitude pegawai menuju budaya kerja dan good governence.
Tulisan dengan tema Paradigma Tasawuf Dalam Pembentukan karakter ini tentu tidak akan membahas ajaran agama yang diakui sebagai kebenaran subjektif oleh masing-masing pemeluknya, melainkan ajaran esoteris agama yang kebenaran implementasinya diakui secara universal oleh semua penganut agama.
B. Pengertian Paradigma Tasawuf
Paradigma berasal dari bahasa Inggris paradigm yang artinya cara pandang, pola pikir, cara berfikir/kerangka berfikir, atau cara melihat suatu fenomena dan fakta-fakta yang ada di sekitar.
Tasawuf berasal dari kata shafw atau shafa yang artinya bersih, sehingga tasawuf merupakan proses pembersihan diri pada aspek batiniyah melalui amaliah dan olah jiwa/terapi-terapi lahir-batin.
Tasawuf juga berasal dari asal kata shuffah yang artinya satu kamar di samping masjid Nabawi yang disediakan buat sahabat-sahabat Nabi SAW yang miskin tetapi kuat imannya seperti Abu Darda’, Abu Zar Al Ghiffari, Abu Hurairah dan lain-lain. (HAMKA) .
Ada juga yang berpendapat bahwa tasawuf itu dari kata suff yang artinya pakaian wol dari bulu domba (lambang kemiskinan saat itu) yang sering dipakai oleh sekelompok sahabat Nabi SAW tersebut yang menghususkan diri dalam ibadah, mujahadah dan riyadhah dalam hidup, sehingga tasawuf disini diartikan menempuh jalan hidup sebagaimana ditempuh oleh sekelompok sahabat tersebut. Tasawuf kemudian menjadi salah satu cabang ilmu keislaman yang mengkaji tentang falsafah agama atau hikmah .
Sedang Character artinya watak atau sifat. (Hasan Shadily)
C. Anatomi Manusia
Al Ghazali dalam Misykat Al Anwar secara jelas menggambarkan anatomi manusia melalui pemahamannya terhadap Surah Al Nur, ayat 35, bahwa ada tiga komponen dalam diri manusia; Pertama, manusia itu memiliki panca indra yang berfungsi sebagai alat untuk menyerap informasi sekaligus mengekspresikan apa yang ada di dalam, yang di dalam ayat tersebut digambarkan sebagai misykat atau lobang dinding yang tidak tembus, tempat lampu penerang di dalam rumah. Jadi lobang dinding itu kalau dari kejauhan kelihatan bulatan lampu, bukan lagi tempat lampu, artinya ia adalah ekspresi dari apa yang ada di dalamnya. Kedua, manusia juga memiliki akal fikiran sebagai filter yang sangat jujur, yang salah dikatakan salah yang benar dikatakan benar, tetapi ia tidak kelihatan, ia hanya akan terlihat dari gejala lahiriyah berupa prilaku dan ucapan. Corak prilaku dan ucapan seseorang sangat ditentukan oleh jernih atau tidaknya akal fikirannya. Itulah menurut Al Ghazali filosofi dari kata Al Zujajah dalam ayat tersebut. Ia adalah kaca semprong yang mengelilingi nyala lampu di dalamnya dan bertugas mengirimkan cahaya dari dalam apa adanya, jika kaca itu bersih, tetapi jika kaca itu kotor, maka cahaya yang dikirimkan menjadi tidak terang atau bahkan gelap. Ketiga, manusia itu memiliki hati, ia tempat penampungan terahir informasi meyakinkan yang kebenarannya menjadi kesadaran penuh, sekaligus ia adalah pendorong utama bagi seluruh prilaku anggota tubuh yang lain. Itulah menurut Al Ghazali makna filosofi kata Mishbah, dalam ayat tersebut. Misbah adalah lampu dimana apinya sebagai sumber cahaya, yang bahan bakarnya adalah minyak zaitun atau minyak paling jernih, yang tidak ada di timur dan barat. Minyak dimaksud adalah Al Qur’an, bukan isme-isme timur atau barat. Jika hati manusia itu adalah lampu, maka untuk dapat menyala , syaratnya ada dua, yaitu ada bahan bakarnya dan ada yang menyalakannya. Kalau bahan bakar “hati” itu adalah Al Qur’an, maka tinggal Yang Menyalakan atau campur tangan Tuhan dalam memberikan petunjuk/kesadaran. Itulah sebabnya orang yang suka membaca Al Qur’an, tidak serta merta hatinya mendapat petunjuk dari apa yang dibacanya, kecuali adanya campur tangan Allah, meskipun orang yang suka membaca Al Qur’an itu seolah-olah telah mendapat petunjuk, sebagaimana kelanjutan ayat,… hampir-hampir minyak zaitun itu menyala walaupun belum disentuh oleh api. (Al Ghazali/Qurais)
Ketiga komponen itulah yang dimiliki oleh manusia (yaitu panca indra, akal dan hati) yang seharusnya menjadi basis anatomi siapapun yang ingin melakukan terapai dengan benar dalam pmbentukan karakter. Dan diantara tiga komponen itu, hati adalah komponen inti, dimana komponen yang lain sangat tergantung kepadanya. Itulah sebabnya terapi yang baik pasti mengutamakan komponen inti tersebut. Jika tidak, maka pembinaan karakter terhadap manusia dalam bentuk apapun pasti akan gagal.
D. Karakter Dalam Tasawuf
Ajaran pokok Islam terdiri dua pilar utama, yaitu aqidah dan syari’ah. Aqidah adalah keyakinan mendasar sebagai pijakan bagi tegaknya bangunan (Iman), sedang syari’ah adalah aturan-aturan lahiriyah yang menuntut ketundukan manusia (Islam) bertujuan membentuk akhlak seseorang baik kepada Allah, sesama manusia maupun kepada makhluk yang lain (rahmatan lil’alamin). Keterpaduan optimal antara Iman dan Islam itulah yang kemudian disebut Ihsan (menyembah Allah seolah-olah melihatNya, atau merasa dilihat olehNya). Inilah yang kemudian menjadi pijakan bagi ajaran tasawuf yang mengedepankan pembinaan hati menuju pribadi yang sempurna.
Ajaran Iman, Islam dan Ihsan, ketiganya menuntut pendayagunaan Afektif, kogtitif, dan psikomotorik, sesuai tiga unsur dalam anatomi manusia yang berupa hati, akal dan panca indra. Namun hati diyakini sebagai pusat energi yang mendorong kemauan sehingga ilmu dan ketrampilan itu dilaksanakan.
Tasawuf sebagai perwujudan dari ihsan menekankan adanya kesadaran komonikasi dan dialog dengan Tuhan. Adapun jalan yang ditempuh tidak dapat menggunakan nalar yang lain, karena praktek tasawuf memiliki nalarnya sendiri, yaitu perpaduan antara sistem pemahaman filosofis terhdap Nash dengan pengalaman suluk (menempuh jalan). Dan proses dialog dengan Tuhan itu sarat dengan penyerapan nilai-nilai ilahiyah yang sangat menentukan terbentuknya karakter dasar yang bersifat hakiki bagi kemanusiaan.
Tasawuf adalah merupakan ajaran terdalam dalam Islam yang membimbing gerak hati dalam diri manusia. Ajaran yang bersifat esoteric dengan pendekatan bimbingan spiritual praktis, bukan sekedar pendekatan intlektual dan logika, sehingga semua proses sufistik tidak bisa dikoreksi hanya dari gejala lahiriyah, sehingga ada istilah “kalau igin mengkoreksi suatu gerakan tasawuf, maka masuklah dulu, baru lakukan kritik dari dalam”
Tasawuf dibagi menjadi tiga kategori yaitu Tasawuf Akhlaqi, Tasawuf Amali, dan Tasawuf Falsafi. Tasawuf akhlaqi adalah ajaran tasawuf yang lebih menekankan kepada penggunaan tasawuf sebagai instrument untuk melakukan kebaikan-kebaikan di dalam kehidupan dalam kaitannya dengan hablum minallah dan hablum minan nas. Di dalam tasawuf ini, yang dipentingkan adalah membangun perilaku yang berdasarkan atas akhlak mahmudah atau akhlak terpuji. Tasawuf akhlaki merupakan ajaran tasawuf yang mengajarkan tentang perilaku luhur atau akhlak al karimah. Untuk mencapai tujuan ini, maka seseorang harus melakukan mujahadah, riyadhah dan muraqabah, sehingga dimungkinkan untuk diberi kemampuan menyerap akhlak Allah.
Tasawuf ‘amali adalah ajaran tasawuf yang lebih menekankan kepada amaliyah yang baik dalam ibadah kepada Allah. Di dalamnya ditekankan bagaimana melakukan hubungan dengan Allah dalam ibadah dan dzikir atau wirid yang terstruktur dengan harapan memperoleh ridla, kedekatan dan kelezatan bersama Allah swt. Tasawuf Amali merupakan kelanjutan dari tasawuf akhlaki dan penajaman. Tasawuf ‘amali merupakan tasawuf yang mengedepankan mujahadah, dengan menghapus sifat-sifat yang tercela, melintasi semua hambatan itu untuk “menyesuaikan diri” dan menghadap total dengan segenap esensi diri hanya kepada Allah SWT. Konsep syari’at, tariqat dan haqiqat atau tahalli, takhalli dantajalli adalah bagian dari konsepsi tasawuf ‘amali.
Tasawuf falsafi merupakan tasawuf yang di dalamnya terdapat corak pemahaman keagamaan yang esoteric berbasis pada “kemenyatuan” hamba dengan Tuhannya yang disebut wahdat al wujud (A. Khudlori Sholeh) atau di dalam istilah Jawa disebutmanunggaling kawulo Gusti.
Dalam perkembangannya, tasawuf akhlaki dan ‘amali memperoleh lahan subur di dalam kehidupan masyarakat. Tasawuf falsafi hampir-hampir tidak berkembang disebabkan oleh stereotipe tentang tasawuf falsafi yang dianggap menyimpang.(Nur Syam)
Tasawuf akhlaqi dan amali jika bergabung akan lebih menjamin lahirnya karakter yang kuat dan hakiki, bahkan dapat memberi pengaruh pada lingkungannya tanpa mampu dipengaruhi oleh kepribadian lain yang kontra produktif terhadap karakter universal.
Karakter manusia secara umum dipengaruhi oleh dua faktor,perama faktor alamiah yang meliputi aspek geografis, sosiologis, dan historis, kedua, faktor upaya sadar baik oleh perorangan maupun lembaga seperti pendidikan, lembaga agama dan lain-lain. Namun kenyataan yang menonjol memperlihatkan bahwa sistem sosial bentukan alam (alamiah) itu justru lebih dominan daripada upaya sadar dalam pembentukan karakter oleh perorangan atau lembaga.
Seperti karakter orang Indonesia berbeda dengan orang Afganistan, orang Jawa berbeda dengan orang Batak, Orang Bali berbeda dengan orang Makasar dan lain-lain. Hal ini sangat jelas kuatnya pengaruh geografis, sosiologis dan historis dalam pembentukan sistem sosial. Dan perbedaan itu akan menyebabkan perbedaan potensi konflik masing-masing, sehingga akan terlihat bahwa potensi konflik orang afganistan lebih besar daripada orang Indonesia, potensi konflik orang Makasar lebih besar daripada orang Bali dan seterusnya. Dengan ini maka upaya sadar pembentukan karakter melalui Pendidikan dan dakwah atau misi masih sulit diakui signifikansinya secara umum. Tanpa mengabaikan peran para wali atau wali songo atau para missionaris dalam menyampaikan pesan keagamaan sehingga secara kuantitatif jumlah pemeluk agama berubah secara signifikan atas upaya mereka, tetapi perubahan agama belum dapat menjadi indikator perubahan karakter secara umum. Toh orang Jawa sebelum Islam karakternya sudah seperti itu.
Di sinilah kemudian dapat kita fahami bahwa akhlak tidak sama dengan karakter. Akhlak adalah terminologi dalam Islam sedang karakter untuk semua agama. Akhlak yang baik menurut Islam, belum tentu dapat diterima oleh agama lain, tetapi jika dikatakan “karakter yang baik” berarti telah mendapat pengakuan secara universal.
Namun demikian harus diakui bahwa para wali juga telah berhasil mengembangkan pola pembentukan karakter yang lebih kuat bagi sebagian umat Islam melalui pendekatan sufistik dengan suluk dan riyadhah, sehingga yang dihasilkan bukan sekedar akhlak dalam arti subjektif bagi umat Islam, tetapi adalah karakter yang diakui secara universal.
Adapun upaya pembentukan karakter oleh lembaga pendidikan yang ada, belum dapat dilihat hasilnya karena masih memberikan tekanan pada kognitif dan psikomotorik, belum berpijak pada unsur inti dari diri manusia yang bernama hati, sehingga konsep pendidikan kita memerlukan anatomi ulang jika yang diinginkan adalah pembentukan karakter.
F. Simpulan dan Rekomendasi
1. Pembinaan karakter seharusnya melalui kajian anatomis yang benar, dimana karakter yang bermuara pada kesadaran qalbiyah itu selama ini belum mendapat porsi yang memadahi.
2. Paradigma tasawuf dalam Islam perlu dipertimbangkan sebagai alternatif dalam pembinaan karakter.
3. Tasawuf yang berbasis pada hubungan cinta kasih antara hamba dengan Tuhannya dalam proses dialogis itu sarat dengan penyerapan nilai-nilai ilahiyah yang sangat menentukan terbentuknya karakter dasar sejati yang tidak mungkin sang hamba mengabaikan kebaikan-kebaikan yang dibebankan oleh Sang Kekasih kepadanya.
4. Penggabungan antara tasawuf akhlaqi dan amali akan lebih menjamin lahirnya karakter yang kokoh yang menjadi magnit bagi lingkungannya tanpa dapat dipengaruhi oleh kepribadian lain yang kontra produktif terhadap karakter universal.
Daftar Pustaka
1. Al Ghazali, Abu Hamid Muhammad Bin Muhammad, Misykat al-Anwar. Beirut : Dar al-Farouqi, Ismail R (1991) Islam dan Kebudayaan, Mizan, Bandung.
2. Hamka, (1987) Tasawuf Modern, Pustaka Panjimas, Jakarta.
3. Kartanegara, Mulyadhi (2006) Menyelami Lubuk Tasawuf, Erlangga, Jakarta.
4. Kuntowijoyo, (1999) Budaya dan Masyarakat, Tiara Wacana, Yogyakarta.
5. Lings, Martin (1975), What Is Sufism?, George Allen and Unwin, Cambridge.
6. Nasr, Seyyed Hossein (Editor), (2003) Ensiklopedia Spiritualitas Islam, Mizan.
7. Noer, Kautsar Azhari, Ibnu Arabi, Wahdat al Wujud dalam perdebatan, Paramadina, Cet I, Jakarta, 1995 Kutub al-‘Ilmiyyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar